BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pengajaran identik dengan pendidikan.
Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar dan belajar, didalamnya
terdapat dua subjek yang saling terlibat, yaitu guru dan peserta didik. Belajar
adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam melaksanakan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Adanya proses yang
panjang dan tertata dengan rapi serta berjenjang akan memungkinkan belajar
menjadi lebih baik dan efisien.
Teori belajar merupakan upaya untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua
memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama
dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivistik.
Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya,
sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan
dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun
hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami
adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori
mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tujuan teori belajar adalah menjelaskan
proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada bagaimana seseorang
belajar. Dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan teori-teori belajar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah
Apa yang dimaksud dengan teori-teori belajar menurut para ahli, implikasi
teori-teori belajar dan manfaat mempelajarinya?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan makalah ini adalah akan dibahas tentang
1.
Pengertian
teori-teori belajar
2.
Lima Teori-teori belajar
3.
Implikasi
teori-teori belajar
4.
Manfaat
mempelajari teori-teori belajar
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori Belajar
Kegiatan
belajar merupakan kegiatan yang paling pokok yang terjadi di sekolah, Ini
berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapai tujuan pendidikan hanya
bergantung kepada bagaimana proses belajar yang di alami oleh murid sebagai
anak didik. Menurut Cronbach dia mengemukakan dalam bunkunya educational
psychology dengan menyatakan bahwa “Belajar dengan yang sebaik-baiknya adalah
dengan mengalami dan dalam mengalami itu sipengajar mempergunakan panca
indranya
Winkel
(1997) berpendapat bahwa belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu
aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.
Belajar
merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di
dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu
pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
Di
dalam belajar, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu,
karena itu menurut Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998) : “Belajar
yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu
pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya indera
pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain.”
Belajar dapat dikatakan
berhasil jika terjadi perubahan dalam diri siswa, namun tidak semua perubahan
perilaku dapat dikatakan belajar karena perubahan
tingkah laku akibat belajar memiliki ciri-ciri
perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000) antara lain :
1.
Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar adalah
karena pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada
ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan
pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.
2.
Perubahan Positif dan aktif
Positif
berarti perubahan tersebut baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta sesuai
dengan harapan karena memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari
sebelumnya. Sedangkan aktif artinya perubahan tersebut terjadi karena adanya
usaha dari siswa yang bersangkutan.
3.
Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dikatakan efektif apabila
membawa pengaruh dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang
fungsional artinya perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan
apabila dibutuhkan perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Dari defenisi yang telah dikemukakan
diatas bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tinggkah laku sebagai
hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungan secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif
menetap serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Teori adalah cara-cara atau metode yang
digunakan untuk mempelajari atau meneliti sesuatu dalam sesuatu proses
pembelajaran. Berarti teori belajar adalah cara-cara aygn digunakan untuk
memahami tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan.
B.
Teori-Teori Belajar
Teori
belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia
menurut pandangan john locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif.
Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa
kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan ini
muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik.
1. Teori
belajar Behaviorisme
Menurut aliran behavioristik, belajar
pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca
indra dengan kecemderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan
respons (R-S). Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan
respons sebanyak-banyaknya.
Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam
kelompok behavioristik diantaranya :
a.
Koneksionisme,
dengan tokohnya Thorndike
b.
Classical
conditioning, dengan tokohnya Pavlop
c.
Operant
conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner
d.
Systematic
behavior, yang dikembangkan oleh hull
e.
Contiguous
conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie
Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan
teori belajar behavioristik, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Thorndike
Rumpun
teori ini disebut Behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tinggkah
laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molecular,
karena memendang kehidupan individu terdiri atas unsure-unsur seperti halnya
molekul-molekul. Menurut teori ini tinggkah laku manusia tidak lain dari suatu
hubungan anatara perangsang jawaban atau Stimulus Raspons. Belajar adalah
pembentukan hubungan Stimulus Respons sebanyak-banyaknya. Pembentukan hubungan
Stimulus Respons dilakukan melalui ulangan-ulangan.
Ada
beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun Behavionisme ini antara lain :
1)
Teori Koneksionisme
Koneksionisme
merupakan teori yang paling awal dari rumpun Berhaviorisme. Teori belajar
koneksionisme dikembangkan oleh Edward
Trhorndike. Menurut thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua
gerakan/tindakan.
Selanjutnya
dalam teori koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukumbelajarsebagaiberikut
:
a)
Hukum kesiapan (Low Of Readiness)
Dimana hubungan antara stimulus dan
respon akan mudah terbentuk manakala ada persiapan dalam diri individu imlikasi
praktis dari hukum ini adalah, bahawa keberhasialan belajar seseorang
tergantnug dari ada atau tidak adanaya kesiapan.
b)
Hukum latihan ( Low Of Eserdse )
Hukum
ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons.
Implikasi dari hukum ini dalah makin sering pelajaran diulang, maka akan
semakin dikuasainya pelajaran itu.
c)
Hukum akibat (Low Of Effect)
Hukum
ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung
kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila
mengharapakan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus
diupayakan agar menyenangkan dirinya.
2)
Teori Pengkondisian (conditioning)
Teori
pengkondisian merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori Koneksionisme.
Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov. Ia adalah ahli Psikologi Refleksiologi dari
Rusia. Sebagaiman dijelaskan oleh Hendry C Ellis, bahwa dalam prosedur
penelitiannya Pavlov menggunakan laboratorium binatang sebagai tempat
penelitian. Sama halnya dengan Thorndike, dia juga percaya bahwa belajar pada
hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan
perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Belajar merupakan suatu upaya
untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.
3)
Teori Penguatan (Reinforcement)
Kalau teori pengkondisian
yang diberi kondisi adalah perangsangannya, maka pada teori penguatan yang
dikondisi atau diperkuat adalah responsnya.
4)
Teori Operant Conditioning
Tokoh
utamanya adalah Skinner. Menurut Skinner tingkah laku bukankah sekedar Respons
terhadap Stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau Operant.
Ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya.
b.
Pavlov
Konsep teori yang dikemukakan oleh Ivan
Petrovitch Pavlov ini secara garis besar tidak jauh berbeda dengan pendapat
Thorndike. Jika Throndike ini menekankan tentang hubungan stimulus dan respons,
dan di sini guru sebaiknya tahu tentang apa yang akan diajarkan, respons apa
yang diharapkan muncul pada diri siswa, serta tahu kapan sebaiknya hadiah
sebagai reinforcement itu diberikan; maka Pavlov lebih mencermati arti
pentingnya penciptaan kondisi atau lingkungan yang diperkirakan dapat
menimbulkan respons pada diri siswa.
c.
E.R
Guthrie
Pendapat Thorndike dan Pavlov ini
ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia menyatakan dengan hukumnya yaitu “The
Law of Association”, yang berbunyi : “A
combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence
tend to be followed by that movement”
Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu
kelas stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada
kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang
sama.
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara
stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang
penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak
memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa
lagi jika diikuti dengan adanya reward
yang berfungsi sebagai reinforcement
(penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori
ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang,
maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus
diperhatikan. Menurut Mukinan (1997), beberapa prinsip tersebut adalah:
a.
Teori
ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
b.
Teori
ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan
respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di
antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
c.
Reinforcement,
yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting
dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif
maupun negatif) ditambah.
Jika
yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah
timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan
dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk
memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
a.
Guru
hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada
siswa.
b.
Guru
juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
c.
Untuk
mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan
apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
1)
Menetapkan
bahwa respons itu dapat diamati (observable)
2)
Respons
yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
3)
Respons
yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit atau jelas
kebermaknaannya (eksplisit)
4)
Agar
respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah
laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).
2.
Teori Kognitivisme
Pada teori belajar kognitivisme,
belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk
memperoleh pemahaman. Tujuan dan tingkahlaku sangat dipengaruhi oleh proses
berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Teori-teori yang termasuk
ke dalam kelompok kognitif holistic di antaranya:
a.
Teori
Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wetheimer
b.
Teori
Medan (field theory), dengan tokohnya Lewin
c.
Teori
organismik yang dikembangkan oleh Wheeler
d.
Teori
humanistic, dengan tokohnya Maslow dan Rogers
e.
Teori
konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget
Menurut Peaget (dalam Hudoyo, 1990)
Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan
yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus
mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan,
menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara
itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara
aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
3.
Teori Konstruktivistik
Konstruktivistik adalah integrasi
prinsip yang diekplorasi melalui teori Chaos, network, dan teori kekompleksitas
dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan
samar-samar dari peningkatan elemen-elemen inti tidak seluruhnya dikontrol oleh
individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat
terletak di luar diri kita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus
pada hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut
memungkinkan kita belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang
kita tahu sekarang.
Konstruktivistik diarahkan oleh
pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat. Informasi baru
diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk menentukan antara
informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting adalah kemampuan mengetahui
kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip Konstruktivistik sebagaimana
yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
a)
Belajar
dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.
b)
Belajar
adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber informasi tertentu.
c)
Belajar
mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia.
d)
Kapasitas
untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting dari pada apa
yang diketahui sekarang.
e)
Memelihara
dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk memfasilitasi
belajar berkelanjutan.
f)
Kemampuan
untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep merupakan inti
keterampilan.
g)
Saat
ini (pengetahuan yang akurat dan
up-to-date) adalah maksud dari semua aktivitas belajar konektivistik.
h)
Penentu
adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari dan makna
dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.
Konstruktivistik
juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aktivitas.
Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to
be connected) dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat
diklasifikasikan sebagai belajar. Behaviorisme, kognitivisme, dan Konstruktivistik
tidak menyatakan tantangan-tantangan dari pengetahuan organisasional dan
pergantian (transference).
4.
Teori Belajar Humanistik
Mazhab humanis pula berpendapat
pembelajaran manusia bergantung kepada
emosi dan perasaannya. Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa
setiap individu itu mempunyai cara belajar yang berbeda dengan individu yang
lain. Oleh itu, strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan
pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun mengikuti kehendak dan
perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahawa setiap individu
mempunyai potensi dan keinginan untuk mencapai kecemerlangan kendiri. Maka,
guru hendaklah menjaga kendiri pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan
ke tahap optimum.
Menurut Teori humanistik, tujuan
belajar adalah untuk memanusiakan manusia proses belajar dianggap berhasil jika
si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama teori humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk mengembangkan dirinya,
untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik
melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah
a)
Proses
pemerolehan informasi baru
b)
Personalia
informasi ini pada individu
Implikasi Teori Belajar Humanistik yaitu guru sebagai fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian
atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk
memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan
ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk) :
1)
Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
2)
Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3)
Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4)
Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5)
Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6)
Di
dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7)
Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
8)
Dia
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam
kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga
tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja
digunakan atau ditolak oleh siswa
9)
Dia
harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
5.
Teori Belajar Sibernetik
Teori ini berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolah
informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementinkan
proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun yang lebih penting
lagi adalah “sistem informasi” yang di proses itu. Informasi inilah yang akan
menentukan proses.
Asumsi lain teori ini adalah bahwa
tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok
untuk semua siswa. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa
dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin, akan
dipelajari siswa lain melalui proses belajar
yang berbeda.
Dalam bentuk yang lebih praktis, teori
ini misalnya telah dikembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut
algoritmik dan heuristik, Pask dan Scott (dengan pembagian siswa tipe
menyeluruh atau wholist dan tipe serial atau serialist) atau
pendekatan-pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan informasi.
a.
Landa
Menurut
Landa, ada dua macam proses berpikir. Pertama disebut proses berpikir
algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu
target tertentu. Kedua adalah cara berfikir heuristik yakni cara berfikir
divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.
Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau
masalah hendak dipecahkan atau dalam istilah yang lebih teknis, sistem
informasi yang hendak dipelajari diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat
disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lain lebih tepat
jika disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi keleluasaan kepada siswa
untuk berimajinasi dan berfikir.
Misalnya
agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif
jika prestasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algoritmik.
Alasannya adalah sebuah rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi
tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun, untuk
memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interprestasi
(misalnya konsep kemerdekaan) maka akan lebih baik jika proses berfikir siswa
dibimbing ke arah yang menyebar (heuristik) dengan harapan pemahaman mereka
terhadap konsep itu tidak tunggall, menoton, linier.
b.
Pask
dan Scott
Pendekatan serialis yang diusulkan oleh
Pask dan Scott itu sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berfikir
menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara berfikir menyeluruh
adalah berfikir yang cenderung melompat ke depan langsung ke gambaran lengkap
sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detildetil yang kita
amati lebih dahulu, tapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke
bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada
pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti “ingatan jangka
pendek”(short term memory), ingatan jangka panjang (long term memory) dan
sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam
proses pengolahan informasi. Kita lihat pengaruh aliran neurobiologis sangat
terasa di sini. Namun menurut teori ini agar proses belajar berjalan seoptimal
mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu di pahami, tetapi juga lingkungan
yang mempengaruhi makanisme itu pun perlu diketahui.
C.
Implikasi Teori-Teori Belajar
1.
Teori
belajar Behaviorisme
Pemahaman
aliran behaviorisme menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademik
maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar. Pendekatan yang digunakan dalam
proses belajar adalah pendekatan akademik. Tujuan pendidikan ditentukan oleh
guru/pendidik sebagai lingkungan sehingga bersifat eksternal.peserta didik
dianggap tidak perlu melakukan pengendalian belajar sendiri.
Teori behaviorisme pun dalam aplikasinya
tergantung pada beberapa hal seperti sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fisilitas pembelajaran yang tersedia. Namun, secara umum,
aplikasi teori behaviorisme biasanya meliputi beberapa langkah, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Menentukan tujuan- tujuan intruksional.
2.
Menganilisis lingkungan kelas yang ada saat ini
termasuk mengidentifikasi “entry behavior” siswa (pengetauhan awal siswa),
3.
Menentukan materi pelajaran ( pokok bahasan,
topik, dan sebagainya).
4.
Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-
kecil ( subpokok pembahasan, subtopik, dan sebagainya).
5.
Menyajiakan meteri pelajaran.
6.
Memberikan stimulus yang mungking berupa :
·
Pertanyaan (lisan atau tertulis);
·
Tes;
·
Latihan;dan
·
Tugas- tugas.
2.
Teori
Belajar Kognitif
Dari aliran
psikologi kognitif, teori Piaget tampak lebih banyak digunakan dalam praktek
pendidikan atau proses pembelajaran. Tahap kemampuan berpikir pra-operasional
ditandai dengan berpikir anak yang bersifat egosentrik-simbolik imlikasinya
ialah belajar harus berpusat kepada anak karena anak melihat sesuatu
berdasarkan dirinya sendiri.Tahap kemampuan operasional konkret ditandai oleh
kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika walaupun masih terikat
oleh objek-objek yang bersifat konkret.Tahap kemampuan berpikir normal
mengimplikasikan bahwa anak melalui proses belajar mengajar harus mampu menemukan
sendiri, memecahkan masalah sendiri bahkan berpikir menurut konsep sendiri.
Seperti teori Bruner dan Ausubel, teori piaget
inipun dalam apliaksi praktisnya sangat memntingkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar. Menurut teori piaget, hanya dengan mengaktifkan
siswa, maka proses asimilasi/akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi
dengan baik. Secara umum, pengaplikasian teori peaget biasanya mengikuti pola
berikut ini:
1.
Menentukan tujuan- tujuan intruksional
2.
Memilih materi pelajaran
3.
Menentukan topik- topik yang mungking dipelajari secara aktif oleh siswa (
dengan bimbingan minimun dari guru).
4.
Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang
cocok untuk topik- topik yang akan dipalajari siswa ( kegiatan belajar ini
biasanya berbentuk eksprementasi, problem solving, roleplay, dan sebagainya).
5.
Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat
memacu kreatifitas siswa untuk berdiskusi untuk bertanya.
6.
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
3.
Konstruktivistik
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran
berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara
lain (Suparno, 1997):
a. Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan
diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap
realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam
proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung
memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta
didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan
diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif
tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah
menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman
hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek
pemaknaan.
b. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam
diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini
berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta
didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk
mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar
pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang
struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang
baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan
peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya.
Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot
(ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of knowledge.
c. Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran
seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara
sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus
kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat.
Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan
kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau
menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan
peserta didik.
d. Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi,
kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya
secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara
optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
e.
Pendidik dalam proses
pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi
seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan
menyimpulkan.
f.
Pendidik merancang tugas
yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual
dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam
mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi
g.
Dalam proses pembelajaran,
pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis
antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga
semua pihak merasa bertanggung jawab
bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya
dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik
tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif,
kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang
lain
4.
Teori
Belajar Humanistik
Menurut pandangan ini guru/tenaga kependidikan
berperan sebagai fasilitator dari pada sebagai pengajar belaka.Proses
pembelajaran diarahkan pada perkembangan kognitif,afektif maupun psikomotorik
persrta didik daripada penekanan pada isi aspek dan informasi yang dipelajari. Menurut
Roopnanire dan Johnson(1993),pendekatan yang sangat bermakna ialah pendekatan
non-akademik yaitu pendekatan yang lebih mengutamakan perkembangan pribadi peserta
didik secara utuh daripada penguasaan informasi atau pengetahuan.
Jika
kita amati, maka teori humanistik ini dalam praktiknya cenderung mendorong
siswa untuk berpikir induktif (dari contoh kekonsep, dari konkret ke abstrak,
dari khusus ke umum, dan sebagainya). Oleh karena itu meskipun tidak ada satu
pun pakar humanistik yang menjabarkan teori mereka kedalam langkah- langkah
teknis, tetapi teori humanistik ini jika diaplikasikan mencakup tahap- tahap
berikut.
1.
Menentukan tujuan- tujuan instruksional.
2.
Menentukan materi pelajaran.
3.
Mengedintifiaksi entry behavior siswa
4.
Mengidentifikasi topik- topik yang
memungkingkan siswa mempelajarinya secara aktif (“mengalami”).
5.
Mendesain wahana ( lingkungan, media,
fasilitas, dan sebagainya) yang akan digunakan siswa untuk belajar.
6.
Membimbing siswa belajar secara aktif.
7.
Membimbing siswa memahami hakikat pengalaman
belajar mereka.
8.
Membimbing siswa membuat konseptualisasi
pengalaman itu.
9.
Membimbing siswa sampai mereka mampu
mengaplikasikan konsep- konsep baru kesituasi yang baru.
10. Mengevalusi
proses dan hasil belajar siswa.
5.
Teori
Belajar Sibernatik
Beberapa
langkah umum yang biasa kita temui dalam implementasi teori sebermetik ini adalah sebagai berikut:
1.
Menentukan tujuan- tujuan instruksional.
2.
Menentukan materi pelajaran.
3.
Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam
materi tersebut.
4.
Menentukan pendekatan belajar yang sesuai
dengan sistem informasinya.
5.
Menyajikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan
urutan materi pelajaran.
D.
Manfaat Mempelajari Teori-Teori Belajar
Belajar itu berfungsi sebagai alat
mempertahankan kehidupan manusia. Artinya dengan ilmu dan teknologi hasil
kelompok belajar manusia tertindas itu juga dapat digunakan untuk membangun
benteng pertahanan. IPTEK juga dapat dipakai unutk membuat senjata penangkis
agresi sekelompok manusia tertentu yang mingkin bernafsu serakah atau mengalami
gangguan Psycopaty yang berat watak merusak.
Sedangkan manfaat dari mempelajari
teori belajar adalah dapat menimbulkan tingkah laku organisme dengan adanya
hubungan antara Stimulus (rangsangan) dengan Respond dan dapat memperkuat
hubungan antara Stimulus dan Respon tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Berarti teori belajar adalah cara-cara
aygn digunakan untuk memahami tingkah laku individu yang relative menetap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
2.
Menurut
aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecemderungan untuk bertindak
atau hubungan antara stimulus dan respons (R-S).
3.
Pada
teori belajar kognitivisme, belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek
kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Tujuan
4.
Konstruktivistik
adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori Chaos, network, dan
teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang terjadi
dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemen-elemen inti tidak
seluruhnya dikontrol oleh individu
5.
Menurut
Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri.
6.
Teori
sibernetik berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori
ini belajar adalah pengolah informasi.
7.
Manfaat dari mempelajari teori belajar
adalah dapat menimbulkan tingkah laku organisme dengan adanya hubungan antara
Stimulus (rangsangan) dengan Respond dan dapat memperkuat hubungan antara
Stimulus dan Respon tersebut
DATAR PUSTAKA
Anonim.2010. Teori
Belajar Kognitif Menurut
Piaget. D:\Pasca sarjana
UNP\Strategi pembelajaran fisika\BAHAN\02 Teori Belajar dan Pembelajaran\piaget
Anonim. 2010.
Teori Belajar. D:\Pasca sarjana UNP\Strategi pembelajaran fisika\BAHAN\02
Teori Belajar dan Pembelajaran\2teori
Anonim.
2010. Teori dan Model Pengajaran dan Pembelajaran. D:\Pasca sarjana
UNP\Strategi pembelajaran fisika\BAHAN\02 Teori Belajar dan
Pembelajaran\Teori&model P&P
Hudoyo,
H., 1990. Matematika dan Pelaksanaannya
di Depan Kelas. Jakarta : DepDikbud.
Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP. Komalasar
Roopnaire,
J. L & Johnson, J.E. (1993).Approaches
to Early Childhood, Education, 2nd Edition. New York : Merril.
Suparno,
Paul. 1997. Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius
Sumadi, Suryabrata.
1998. Metodologi Penelitian. Cetakan sebelas. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar